Persoalan di dunia pendidikan yang datang dari Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau tengah menjadi sorotan. Sebanyak 64 kepala sekolah SMP negeri mendadak kompak mengundurkan diri. Kabar tersebut pun mengejutkan Pelaksana tugas (Plt) Dinas Pendidikan Inhu Ibrahim Alimin.
Ibrahim menjelaskan, alasan mereka memilih mundur karena merasa tidak nyaman mengelola dana bos. Bahkan satu di antara kepala sekolah yang tidak ingin disebutkan namanya, mengaku trauma terkait dana BOS tersebut. Kala itu, trauma disebabkan setelah dirinya diperiksa oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Inhu.
Surat pengunduran diri ke 64 kepala sekolah itu sudah diterima Dinas Pendidikan (Disdik) Inhu. Selanjutnya, surat tersebut akan dilaporkan ke bupati. Kendati demikian, pihak Disdik Inhu belum bisa memastikan apakah pengunduran diri tersebut disetujui oleh bupati.
Adapun pihak Kejari Inhu membantah pihaknya memeriksa sejumlah kepala sekolah terkait dana BOS. Dugaan adanya pemerasan pun menambah spekulasi mengenai mundurnya 64 kepala sekolah SMP ini. Berikut fakta fakta lengkap mengenai mundurnya ke 64 kepala sekolah di Inhu, Riau:
Pelaksana tugas (Plt) Dinas Pendidikan Inhu Ibarhim Alimin terkejut. "Saya selaku Kepala Dinas sangat terkejut, karena kita baru masuk sekolah SMP pada 13 Juli 2020 kemarin di masa pandemi Covid 19 ini." "Kemudian, ada ijazah ijazah dan rapor yang harus ditandatangani," kata Ibrahim saat dikonfirmasi , Rabu (15/7/2020).
Kata Ibrahim, alasan ke 64 kepala sekolah itu memilih mundur dan memilih menjadi guru biasa karena merasa tidak nyaman mengelola dengan dan bos. "Alasan mengundurkan diri, karena mereka mengaku merasa terganggu dan tidak nyaman mengelola dana bos." "Sementara mereka mengelola dana bos kan tidak banyak. Ada yang dapat Rp 56 juta, Rp 53 juta dan ada Rp 200 juta per tahun," ujarnya. Lebih lanjut, Ibrahim menuturkan telah menerima surat pengunduran diri ke 64 kepala sekolah tersebut.
Namun, dirinya tidak bisa memastikan apakah pengunduran diri tersebut disetujui bupati. Ia pun meminta pada ke 64 kepala sekolah tersebut untuk tetap menjaga kondusifitas sekolah. "Apakah disetujui Bupati untuk pembebasan tugas itu tergantung pada Bupati nanti."
"Kemudian, sebelum keluar surat pembebasan tugas, saya mohon kepada mereka agar tetap bekerja, karena kasihan anak anak kita." "Tapi itu tergantung mereka lagi," kata Ibrahim. Dikutip dari , salah satu kepala sekolah berinisial B mengaku pihaknya pernah diperiksa oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Inhu terkait dana BOS sehingga membuatnya trauma.
"Tekanan yang kami rasakan dalam mengelola BOS cukup berat." "Kami sering disalahkan, bahkan pernah mendapat surat dari lembaga swadaya masyarakat (LSM)." "Kemudian surat itu dilanjutkan ke aparat penegak hukum. Yang pernah itu misalnya ke kejaksaan," kata B kepada wartawan melalui sambungan telepon, Rabu lalu.
Mengaku apa yang dilakukan kepala sekolah dalam mengelola dana BOS selalu disalahkan. Juga mengaku dirinya pernah diperiksa oleh pihak Kejaksaan Inhu sekitar tahun 2018 dan 2019 lalu. "Padahal sekolah kami sudah berulang kali mendapat penghargaan."
"Namun, kami masih dibebankan seperti ini. Kami takut menyalahgunakan jabatan kami, karena ini adalah amanah," ujarnya. Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Riau Taufik Tanjung mengungkapkan adanya pemerasan yang dilakukan oleh oknum penegak hukum. Bahkan, pemerasan itu sudah berlangsung sejak tahun 2016.
Awalnya para kepala sekolah SMP itu dilaporkan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kemudian, mereka diduga bekerja sama dengan oknum penegak hukum untuk memeras 64 kepala sekolah. Pemerasan tersebut dilakukan dengan sengaja mencari kesalahan kepala sekolah terkait pengelolaan dana BOS.
"Pengakuan kepala sekolah, mereka diminta uang Rp 65 juta oleh oknum agar masalah dana BOS tidak diganggu," ungkap Taufik, masih dikutip dari . Sebanyak 64 kepala SMP pun memenuhi panggilan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, Senin (20/7/2020). Pemanggilan itu terkait soal dugaan oknum kejaksaan yang melakukan pemerasan.
Sedangkan pertemuan hanya dilakukan beberapa perwakilan kepala sekolah, didampingi Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Persatuan Guru Republik Indonesia (LKBH PGRI) Riau. Sementara itu, persoalan pemerasan ini rencananya akan dilaporkan ke Polda Riau oleh LKBH PGRI Riau hari ini. "Kami belum buat laporan polisi, karena kami koordinasi dulu dengan Kejati Riau," kata Ketua LKBH PGRI Riau Taufik Tanjung.