Mantan Calon Legislatif (Caleg) DPR RI PDI Perjuangan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, Alexius Akim berharap agar hukum tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hal ini diungkapkannya menyusul kasus operasi tangkap tangan atau OTT Komisioner KPU Pusat yang menyeret nama besar PDI Perjuangan. Seperti diketahui, PDI Perjuangan memecat Alexius Akim di hari hari terakhir jelang penetapan calon terpilih untuk DPR RI.
Akim merupakan peraih kursi kedua di Dapil Kalbar 1 untuk DPR RI dari PDI Perjuangan setelah kursi pertama untuk mantan Gubernur Kalbar, Cornelis yang meraih suara terbanyak kedua se Indonesia. Alexius Akim gagal ke Senayan seusai dipecat dan diganti Maria Lestari, Caleg lain dari PDI Perjuangan. Istri Wakil Bupati Landak, Herkulanus Heriadi tersebut menempati urutan ke empat terbanyak di bawah Michael Jeno.
Hanya, Michael Jeno memilih mengundurkan diri sehingga Maria Lestari melenggang mulus. Di DPR RI, Maria Lestari merupakan anggota Komisi X dan Badan Legislasi. "Yang jadi persoalan adalah memang saya sebagai orang yang bersentuhan langsung pada waktu itu agak sedikit bertanya. Mengapa saya sebagai pemenang kedua Pileg kok langsung dipecat tanpa melalui prosedur yang betul," kata Alexius Akim, Senin (13/01/2020).
"Yang membingungkan lagi, kalau saya berhalangan karena mungkin melanggar kode etik partai, kenapa ada calon lagi yang mengundurkan diri. Lalu melenggang nomor empat suara terbanyak. Ini yang sebetulnya jadi teka teki, kalau ditanya tentang kasus OTT KPK apakah mirip dengan kasus saya, saya tidak tahu, terserah masyarakat menafsirkan," kata Mantan Kadisdikbud Kalbar tersebut. Sekalipun demikian, Akim mengaku pasrah atas kejadian yang menimpa dirinya. "Karena seperti saya katakan, kejadian ini bukanlah rahasia umum. Lalu tindakan saya hanya berdoa pada yang kuasa, kalau memang ini jalan saya, saya lalui saja," tuturnya.
Lebih lanjut, Akim mengaku bingung keputusan yang diambil sepihak oleh partai. Terlebih segala tuduhan kepadanya tidak terbukti. "Hanya saja kalau saat itu saya dituduhkan melakukan sesuatu, toh penyelenggara Pemilu telah melaksanakan, termasuk DKPP membuat hasil keputusan untuk KPU Landak dan Bawaslu. Hasilnya menyatakan tidak ada pelanggaran kode etik," katanya.
"Artinya semua clear, namun saya terlanjur dipecat. Nah yang seperti ini saya sedikit bingung, kok bisa perlakuan seperti itu," tambah Akim. Maka dari itu, Akim berharap dengan adanya kasus OTT Komisioner KPU RI, hukum dapat bersikap adil. "Dalam beberapa hari ini muncul kasus Wahyu Setiawan, kalau masyarakat mempertanyakan dengan kasus saya, itu urusan masyarakat menilai, mengatakan sama atau tidak. Bagi saya yang sudah terjadi ya terjadilah. Tidak apa apa bagi saya, tapi tolong karena ini negara hukum, siapa pun orangnya tidak boleh mangkir dari hukum. Tidak boleh hukum tumpul ke atas tajam ke bawah," jelasnya.
Alangkah baiknya, lanjut dia, jika hal ini akan dijadikan pembelajaran politik dan mesti diselesaikan dari bawah. "Sejak penetapan kemarin, dilihat betul betul, apakah UU yang ada tidak usah dipakai dan menggunakan putusan partai saja, atau bagaimana. Kalau saya, tidak punya kemampuan apa apa. Latar belakang saya birokrat, dari guru. Saya sekadar ingin menyampaikan agar diberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat," kata Akim, yang kini menjabat Ketua DPW PSI Kalbar. Dikutip dari KOMPAS.com , Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus mencari kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI P) Harun Masiku yang menjadi tersangka kasus dugaan suap terhadap mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, pihaknya mengimbau Harun untuk menyerahkan diri dan kooperatif mengikuti proses hukum. "Sampai hari ini KPK masih terus mencari tersangka HAR (Harun Masiku). KPK meminta yang bersangkutan segera menyerahkan diri," kata Ali dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/1/2020). Harun merupakan tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019 2024.
Ali menuturkan, KPK juga meminta pihak pihak yang terkait dalam kasus ini bersikap kooperatif ketika keterangannya dibutuhkan penyidik dalam memproses hukum perkara ini. "Bersikap kooperatif kepada KPK tidak hanya akan membantu penyidik menyelesaikan perkara lebih cepat, tetapi juga akan memberikan kesempatan yang bersangkutan untuk menjelaskan terkait perkara tersebut," ujar Ali. Komisioner KPU Wahyu Setiawan dijadikan tersangka karena diduga menerima suap setelah berjanji untuk menetapkan caleg PDI P Harun Masiku sebagai anggota DPR terpilih melalui mekanisme PAW.
KPK menyebut Wahyu telah menerima uang senilai Rp 600 juta dari Harun dan sumber dana lainnya yang belum diketahui identitasnya. Sedangkan, Wahyu disebut meminta uang operasional sebesar Rp 900 juta untuk memuluskan niat Harun. KPK menetapkan total empat tersangka dalam kasus suap yang menyeret komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Selain Wahyu, KPK juga menetapkan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang juga orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina. Kemudian, politisi PDI P Harun Masiku dan pihak swasta bernama Saeful. Dua nama terakhir disebut Lili sebagai pemberi suap. Sementara Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap.